Rabu, 22 Oktober 2014

Buat..

Assalamu'alaikum.

Buat Reza.
Iya, udah lama nih Za gw hutang janji sama lu. Hahaha



Maaf ya.

Hmm ngomongin sastra.. Menurut gw, sastra itu adalah pandangan hidup di mana kita memaknai sesuatu secara lebih. Ada penekanan. The more you give, the more you get. Bukan berarti pamrih. Tapi biar lebih indah. Kalau My Chemical Romance bilang, "Would you destroy something perfect in order to make it beautiful?". Kalau aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bermasyarakat dan berbudaya, serta ber.. Heuheuheu Kita bisa menerapkannya secara positif, seperti memberikan lebih dalam setiap tindakan kita. Misalnya.. Males ah ngasih contoh. *bukan anak sastra* Hahaha

Pengaruh sastra dalam diri gw berasal dari lingkungan, dan dari kehidupan itu sendiri. Mungkin. Bukan lu yang memilih sastra, sastra yang memilih lu. Itulah sebabnya kenapa gw gak ngambil jurusan sastra dalam melanjutkan studi sarjana gw. Sekali lagi, sastra yang memilih lu.
Lu tau kan, Za, yang namanya 'hikayat', mungkin lu pernah belajar waktu SMA, sama seperti gw dulu. Dan mungkin lu juga ingat guru Bahasa Indonesia kita, Bunda Desma, bagaimana dulu kita belajar dengan beliau.
Hikayat itu kan jenisnya masuk ke sastra lama, yang berasal dari Melayu. Darah Minang yang gw punya inilah mungkin yang menyebabkan sastra memilih gw. Halah.. Lebay banget gw, Za. Astaghfirullah.
Iya sih, faktor lingkungan juga kayaknya yang membentuk gw seperti ini. Bokap gw tuh kalau ngomong diplomatis. Jeli dalam memilih diksi, pembawaannya masif, terstruktur dan sistematis! Hahaha Ini salah satu hal yang gw banggakan dan gw syukuri memiliki beliau sebagai bokap gw. Dari cerita cerita yang gw dengar dan gw tahu, bokap itu dulu orang yang aktif, dalam pendidikannya maupun dalam bermasyarakat, dan itu jugalah apa gw lihat sampai sekarang.
Tapi imbasnya, bukan imbas juga sih, gw memaknainya sebagai hal positif, gw tumbuh menjadi pribadi yang lebih berposisi sebagai pendengar, belum memaksimalkan potensi lain yang anak sastra punya seperti bokap yang gw banggakan. Mau! Mau sih segera bisa fasih berperan dalam dua posisi itu. Kayak otak aja, terkadang, orang disegmentasikan kepada dia yang dominan pada otak kiri atau otak kanannya, itu hal bagus. Tapi alangkah lebih baik lagi orang yang mempu mengoptimalkan kedua bagian otaknya dengan selaras.

Selama masa sekolah, pelajaran favorit gw itu salah satunya bahasa Indonesia. Pas SD, senang tuh menulis tegak bersambung, pernah ikut lomba calistung juga. Dulu pernah dipasang buat lomba membaca cepat, dan gw kewalahan. Hahaha kayaknya itu juga yang bikin gw jadi begini sekarang, kebawa.
Sebenarnya dan pada awalnya, gw sempat berkeinginan untuk memilih jurusan Bahasa ketimbang IPA maupun IPS ketika SMA.
Tapi makin ke sini, antara pelajaran bahasa Indonesia dengan gw, rasanya makin gak nyambung. Gak tau kenapa.. Rasanya, pelajaran bahasa Indonesia itu makin lama makin subjektif, jadi apa yang gw pikirin itu gak sama dengan apa yang penilai (dalam hal ini guru) pikir. Sering gitu kalau ada soal, gw udah yakin tuh jawaban gw benar, eh, taunya, jawaban yang gurunya anggap benar sama jawaban gw itu beda. Paling kesalnya lagi kalau guru itu udah masuk ke taraf benar benar subjektif, jadi, semua jawaban selain jawaban dia itu pokoknya salah, ibaratnya dia tutup telingalah. Yaa di sini gw sebagai orang yang belajar mencoba terima, dan malah akhirnya gw mencoba berkompromi pada diri sendiri.. Hmm mungkin gw yang berpikir terlalu jauh dari kotak. Gw maklumi itu.

Nah, kelemahan itu gw sadari, dan menjadi salah satu aspek mengapa gw gak ngambil jurusan sastra untuk melanjutkan studi gw. Jujur, gw kalau disuruh maju ke depan, ngomong, pidato, atau tampil gitu, rasanya udah kayak band hardcore, jantung kayak make double pedal. Hahaha kenceng banget. Kadang lepas kontrol. Ngeblank. Gugup. Grogi. Terus, keringat dingin. Jadi, gak perlu olah raga berat atau lama lama, cukup disuruh tampil aja lima sampai sepuluh menit, keringatnya udah kayak tanding futsal. *sedih*
Tapi kalau memang harus, yaa gw mencoba profesional. Semua kan bisa karena terbiasa. Jadi, kelemahan itu gak gw jadikan alasan, toh kalau kita mau maju, masa tetap di situ situ aja. Manusia itu tabiatnya suka takut keluar dari zona aman, suka dengan hal baru, tapi rasa rasanya paling anti sama yang namanya perubahan.

Faktor lainnya adalah, lu harus benar benar hidup sebagai sastra supaya bisa menjadi bagian dari sastra. Kayak budayawan, seseorang bisa disebut budayawan karena dia terjun dalam kehidupan budaya itu sendiri. Menurut gw, hal seperti itu kurang bisa diandalkan atau diharapkan dalam kehidupan sekarang. Gak bisa, gw yang gak bisa. Jadi gw memilih untuk menjadikan sastra lebih sebagai hobi, bukan profesi. Yang penting gw bisa berkarya, menuangkan pikiran gw. Memilih hidup dengan cara sastra ketimbang hidup dari sastra. Rasa rasanya, kehidupan sekarang kembali ke yang dinamakan 'hukum rimba', siapa yang kuat, dia yang menang. Hidup semakin keras.

Jadi, dalam langkah yang coba gw ambil guna membagun kehidupan mendatang.. Lebay. Heuheuheu
Gw mahasiswa fakultas ekonomi sekarang, jurusan akuntansi. Dan gw mencoba untuk mengakhiri apa yang sudah gw mulai. Dewasa ini, kehidupan lebih mengedepankan profesi yang memiliki nilai. Gw ambil contoh akuntan, akuntan ketimbang sastrawan kehidupannya lebih pasti (walaupun sebenarnya tidak ada yang pasti di dunia ini). Dala artian, lebih ada gambaran, karena lebih memiliki nilai dan semua elemen membutuhkannya. Sektor ekonomi mengalir dalam hidup kita. Kalau sastra, gak semua orang bisa menerimanya, mereka yang membutuhkan dan mengertilah yang akan menghargai sastra itu. Dan hidup dari sastra, bagi dia yang tidak benar benar hidup di dalamnya, seperti meraba-raba. Sulit untuk hidup seperti itu pada zaman ini.

Kadang realitas itu gak sama dengan idealitas. Bokap gw pernah bilang..
"Kalau kita gak bisa memiliki apa yang kita cintai, cintailah apa yang kita miliki"
Bersyukur. Itulah cara membuat hidup menjadi lebih indah.
Gw juga punya idealitas. Tapi kita hidup dalam realita. Jadi, gw coba menjalani hidup ini apa adanya, berkompromi pada diri sendiri, sembari berusaha mewujudkan idealitas itu menjadi nyata. Dan sebagai anak sastra, selain memaknai hidup, tujuan gw lainnya adalah berkarya. Bukan hidup dari karya, tapi berkarya dalam hidup. Hidup untuk berkarya!

Kita berdo'a untuk kebaikan kita bersama.


Jadi, Za..
Maaf ya kalau jadi berbelit-belit gini. Gw emang gitu, kalau disuruh ngomong, bingung mau ngomong apa, dan gak tau harus mulai dari mana. Tapi pas udah keluar, yaa begini, jadi gak karuan. Hahaha semoga bisa diambil intinya.


Seperti biasa, sebagai penutup.
Makasih ya.


~Salam #DagingKhasDalam~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar